Rabu, 28 April 2010

kabari flag 2 Khusus: Oei Hui Lan, Wanita Semarang Yang Mendunia (End)

Setelah mengucap salam dan mennyarankan ayahnya supaya membeli mobil dan membuat WC duduk serta air ledeng. Oei Hui Lan dan Wellington Koo meneruskan perjalanan ke China.

Sesampainya di Shanghai mereka disambut meriah. Di Shanghai mereka sempat tinggal di rumah yang disewa oleh kakak sulung Wellington Koo untuk mereka. Tapi Hui Lan tak suka, karena selain ukurannya terlalu kecil, tak ada ledeng dan WC duduk pula.

Akhirnya mereka pindah ke hotel untuk beberapa waktu. Wellington Koo menurut Hui Lan sebetulnya tak setuju. Dia tak ingin menyinggung perasaan kakaknya yang sudah repot-repot menyewakan rumah. Tapi Hui Lan bergeming.

Beberapa waktu kemudian mereka membeli sebuah istana di Beijing, tentu saja dari uang pemberian Oei Tiong Ham, karena gaji Wellington tak mungkin mencukupi kebutuhan Hui Lan. Istana itu dijual murah oleh pemiliknya, US$ 100,000, karena ia takut disita oleh pemerintah. Istana itu dibangun Kaisar pada abad XVII untuk seorang gundik yang paling dicintainya. Di istana itulah kemudian presiden China pertama Dr. Sun Yat Sen meninggal tahun 1925. Hui Lan menghabiskan dana tambahan sekitar US$ 150,000 lagi untuk memperbaiki istana itu. Di istana itu pula putra kedua Hui Lan lahir tanggal 24 Juli 1923 malam.

Oei Tiong Ham meninggal

Setelah tinggal di China, Hui Lan masih sempat beberapa kali mengunjungi Singapura menemui Ayahnya. Suatu ketika Hui Lan mendapat undangan jamuan makan dengan Gubernur Jenderal Singapura, ayahnya yang melihat Hui Lan datang ke Singapura dengan perhiasan seadanya, langsung ke kamar dan setelah itu melemparkan setumpuk perhiasan intan yang besarnya berpuluh puluh karat ke pangkuan Hui Lan.

Yang diundang dalam perjamuan itu semuanya orang Inggris kecuali Hui Lan dan Sir Robert Ho tung dari Hong Kong. Hui Lan mengajak ayahnya. Ayahnya tidak paham bahasa Inggris dan ingin duduk di sebelahnya Hui Lan. Setelah dijelaskan kepada ajudan Gubernur Jenderal, akhirnya jamuan makan malan itu berlangsung lancar. Oei Tiong Ham duduk disebelah Hui Lan.

Hui Lan mengaku masih sekali lagi bertemu Oei Tiong Ham ketika Hui Lan datang ke Singapura untuk melihat pembangunan villa miliknya yang memasuki tahap akhir. Pada waktu itulah Oei Tiong Ham diramal oleh seorang India. Kata orang itu, akan ada musuh yang meracuni Oei Tiong Ham.

Hui Lan khawatir dan mengajak ayahnya meninggalkan Singapura. Tapi Oei Tiong Ham menolak, saat perpisahan di pelabuhan, Oei Tiong Ham sempat berkata pada Hui Lan, “Hui Lan, aku lelah.“.

Hui Lan merasa sedih mendengar perkataan Ayahnya. Hui Lan sama sekali tak menyangka bahwa kalimat itu adalah perkataan terakhir dari Oei Tiong Ham untuk dirinya.

Setelah tiga bulan, Hui Lan menerima kawat dari Tjong Swan. Oei Tiong Ham meninggal dunia. Kabar yang dia terima, ayahnya meninggal mendadak akibat serangan jantung pada 6 Juni 1924.

Bagi Hui Lan, inilah awal masa suram kehidupannya. Hui Lan merasa sangat kehilangan. Sosok Oei Tiong Ham baginya juga sebagai pelindung. Selama ayahnya hidup, Hui Lan bukan Cuma merasa aman dari segi keuangan, tetapi juga selama ada Oei Tiong Ham, tidak seorang pun berani berbuat jahat terhadap Hui Lan dan keluarganya.

Ibunya, Bing Nio, menolak menghadiri pemakaman Oei Tiong Ham. Akhirnya ditemani Wang, sekretaris sekaligus kepala rumah tangga (majordomo) dan seorang pelayan perempuan, Hui Lan berangkat ke Singapura.



Sampai di Singapura, peti jenazah Oei Tiong Ham sudah ditutup. Saat itu banyak orang-orang yang tak dikenal Hui Lan datang. Mereka adalah teman-teman Lucy Ho. Hui Lan menyadari bahwa dirinya sekarang orang luar.

Hui Lan meminta agar jenazah ayahnya diotopsi, apalagi dia ingat betul perkataan peramal yang meramalkan ayahnya akan tewas diracun. Hui Lan curiga Lucy Ho meracuninya. Namun menurut penasihat hukum di Singapura, sebagai anak perempuan almarhum Hui Lan tidak berhak meminta otopsi, kecuali ibunya, Bing Nio.

Diputuskan jenazah Oei Tiong Ham akan dimakamkan di Semarang. Dua anak Oei Tiong Ham yang dipercaya yakni Tjong Wan dan Tjong Hauw yang mengatur semuanya. Jenazah lalu diangkut menggunakan kapal ke Semarang.

Di Semarang, prosesi pemakaman Oei Tiong Ham dilakukan tanpa biksu. Hui Lan sebagai anak istri sah, duduk di kereta pertama pengiring kereta jenazah . Swan, Hauw , dan para putra Oei Tiong Ham dari gundik-gundiknya berjalan di belakang mereka.

Pembagian Warisan

Oei Tiong Ham meninggalkan warisan cukup banyak. Hui Lan mendapatkan warisan yang dijanjikan ayahnya. Ibunya mendapat beberapa juta dollar. Kakaknya, Tjong Lan mendapat satu juta dollar. Sementara perusahaan peninggalan Oei Tiong Ham dibagi tiga antara Tjong Hauw, Tjong Swan dan Lucy Ho. Belakangan Tjong Swan menjual bagiannya itu kepada Lucy Ho dan pindah ke Belanda.


Lucy Ho sendiri menurut kabar yang didengar Hui Lan, meninggal di Swiss akibat kanker. Swan meninggal akibat infeksi gigi yang ditelantarkan. Sementara Hauw meninggal di Jakarta karena serangan jantung tahun 1951.

Bisnis Oei Tiong Ham di Jawa lalu diambil alih Jepang dan sisanya kemudian diambil oleh pemerintah Soekarno.

Menjadi Dubes AS

Dua belas tahun kemudian, tepatnya tahun 1936, Wellington diangkat menjadi dubes China pertama untuk Prancis. Hui Lan menulis dalam bukunya bahwa saat menuju Paris, dirinya meninggalkan banyak harta benda di China. Hui Lan juga juga meninggalkan perhiasan almarhumah isteri pertama Wellington di sebuah bank di Shanghai, dengan maksud akan diberikan kepada putri mereka, Pat, kalau Pat sudah dewasa.

Waktu itu mereka tak berpikir bahwa akhirnya semua ternyata akan amblas oleh pemerintah komunis China.

Tujuh tahun menjadi dubes China untuk Perancis, Wellington pindah tugas menjadi Dubes di London tahun 1943. Hui Lan mengaku berteman baik dengan Menteri Luar Negeri Anthony Eden dan pernah dijamu oleh PM Churchill, kemudian juga oleh PM Attlee. Bahkan mereka pernah diundang jamuan makan oleh Ibu Suri Mary yang kemudian mereka balas dengan menjamunya di kantor kedubes China Di London.


Selama menjadi istri dubes, mereka bisa mengadakan perjamuan mewah semacam itu berkat warisan Oei Tiong Ham karena gaji Wellington yang ‘cuma’ US$ 600 sebulan.

Selama di London itu pula Hui Lan berteman baik dengan Joseph Kennedy, Jr yang kemudian tewas dalam perang. Semasa perang dunia kedua, Hui Lan juga ikut menjadi sukarelawan Palang Merah Inggris di bawah Edwina Mountbatten.

Karier Wellington terus menanjak, tahun 1946 Wellington menjadi dubes China untuk sebuah negara besar yang kala itu memenangi perang dunia kedua, Amerika Serikat.

Kantor kedubes China di Washington sebelumnya adalah rumah milik penemu telepon Alexander Graham Bell. Tetangga sebelah mereka juga adalah seorang konglomerat AS yang kaya raya, Marjorie Merriweather Post. Mereka kerap diundang jika Marjoie mengadakan pesta.

Kemudian Madame Chiang Kai Shek (isteri presiden Cina Nasionalis) juga pernah menjadi tamu di kediaman mereka. Oleh karena suaminya tidak bisa berbahasa Inggris, pemerintah China mengutus madame Chiang yang mendapat pendidikan di AS untuk berpidato di hadapan kongres.

Mereka juga berhubungan baik dengan wakil presiden Richard M. Nixon dan isterinya yang bijaksana itu. Dan sebagai duta besar, Wellington sering diundang dalam acara-acara penting dan formal pemerintah AS. Tentunya Hui Lan juga turut serta. Mereka sempat menghadiri upacara pelantikan presiden Harry S. Truman dan Presiden Dwight D. Eisenhower.

Bing Nio untuk beberepa saat pernah tinggal bersama mereka di Washington, tapi kemudian meninggal akibat kanker di sebuah rumah sakit di New York. Hui Lan menuturkan dia sangat merasa kehilangan ibunya untuk waktu yang lama.

Akhir Dari Semuanya


Tahun 1956, setelah bertugas di Washington selama sepuluh tahun, Wellington ditarik pulang. Ketika itu pemerintah China sudah terbagi dua, Taiwan dan China Daratan, antara nasionalis dan komunis.

Hui Lan memilih tetap tinggal di AS. Dia menyewa sebuah apartemen di Sutton Palace, New York. Anak tirinya, Pat sering datang menemani Hui Lan mengobrol dan untuk mengajarinya memasak. Di apartemen itu Hui Lan tinggal bersama dua anjing peking kesayangannya. Karena Wang ikut Wellington ke China, dua pelayannya memilih bekerja di tempat lain sementara koki mereka membuka restoran.


Suatu kali Hui Lan mengalami peristiwa naas. Seusai pulang dari mengajak jalan-jalan anjingnya, Hui Lan disergap perampok. Dua perampok bule itu mengikat tangan dan kaki Hui Lan. Perampk itu berhasil membawa lari perhiasan Hui Lan yang nilainya kira-kira seperempat juta dollar.


Setelah perang usai, sulit sekali mengurus rumah rumah kami di pelbagai tempat di eropa. Dengan susah payah berhasil juga saya menjualnya, walaupun dengan harga murah. Saya mengagumi Ny. Kung, seorang Methodist yang tabah. Ia menghibur saya,“Apa pun milik kita yang hilang, jika Anda mencintai Tuhan, Anda tidak akan terpengaruh.“

Sejak itu Hui Lan mengaku jarang menjamu dan enggan menghadiri perjamuan. Hui lan masih beruntung karena anak tirinya Pat, dan anak-anaknya patuh terhadap dirinya. Putra sulungnya, berhasil menjadi anggota tentara Angkatan Udara Nasionalis dan berada di Taiwan. Tjong Lan meninggal di New York tahun 1970. Suaminya meninggal setahun sebelumnya.

Hui Lan juga merasa memiliki pertalian emosional dengan Indonesia, tempat dia dilahirkan dan menghabiskan masa kecil. Oleh karena itu, tahun 1968 Hui Lan pernah mencoba berbisnis di Indonesia tetapi bisnis itu gagal.


Di penghujung usianya, Hui Lan menyadari berkenalan dengan kaum ningrat dan orang berduit tidaklah penting. Otak dan kepribadianlah lebih penting. Kita bisa menderita akibat haus kekuasaan, tetapi kita bisa mendapat kesenangan dari sikap hormat, kesederhanaan dan sifat lurus. Kita seharusnya menghargai orang orang lain dan hidup ini, tulis Hui Lan.

Nama Jalan di Singapura

Hui Lan sendiri meninggal dunia tahun 1992, di Amerika. Menurut catatan redaksi majalah Intisari berjudul “Pelangi Cina di Indonesia”, Hui Lan masih sempat menulis kata pendahuluan untuk buku Raja Gula Oei Tiong Ham yang ditulis Liem Tjwan Ling, pada Maret 1978.

Sementara nasib benda-benda peninggalan Oei Tiong Ham di Semarang sudah sulit dilacak. Rumahnya di Jalan Gergaji, Semarang sekarang dijadikan tempat kursus bahasa asing dan komputer, milik keluarga Hoo Liong Tiauw pemilik pabrik plastik Polyplast.

Tjwan Ling Liem, penulis buku "Raja Gula Oei Tiong Ham (Surabaya, 1979) menulis terjadi pengambil alihan aset Oei Tiong Ham di Semarang oleh pemerintah. Lalu sekitar tahun 1975-an, pemakaman Oei Tiong Ham dibongkar, tulang belulangnya di bawa ke Singapura dan diabukan disana. Nama Oei Tiong Ham kemudian diabadikan sebagai nama salah satu jalan di Singapura.

Dari penelusuran Kabari, kongsi dagang Kiang Gwan atau Oein Tiong Ham Concern diambil alih pemerintah pada tahun 1961 melalui keputusan Pengadilan Ekonomi Semarang No. 32/1561 EK.S tanggal 10 Juli 1961 yang lalu diperkuat dengan Keputusan Mahkamah Agung RI No.5/Kr/K/1963 tanggal 27 April 1963.

Perusahan itu berganti nama menjadi PT. Perusahaan Perkembangan Ekonomi Nasional (PPEN) Rajawali Nusantara Indonesia tahun 1964. Lalu berubah lagi menjadi PIE Rajawali Nusindo (1971), dan PT. Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) pada tahun 2001.

PT. RNI kemudian memiliki beberapa anak perushaan, salah satu PT Rajawali Nusindo yang kemudian memiliki anak perusahaan lagi, yaitu PT. Putra Rajawali Banjaran (PRB).

Sekedar informasi terkait berita hangat saat ini, di PT. PRB inilah Alm. Nasrudin yang tewas ditembak--kemudian diduga melibatkan ketua Non Aktif KPK Antasari Azhar--duduk sebagai direktur utama. (sumber: Intisari, Pelangi Cina di Indonesia dan berbagai sumber lainnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar